Hukum Membaca Mushaf dalam Shalat Menurut Hanafiyyah
https://quantumfiqih.blogspot.com/2014/06/hukum-membaca-mushaf-dalam-shalat_9436.html
Abu
Hanifah juga berpandangan orang yang shalat tidak berhak membaca dari mushaf,
karena shalatnya dapat rusak secara muthlaq, sedikit ataupun banyak dia
membacanya, sebagai imam maupun shalat sendiri, begitupula walaupun dia tidak
mungkin membaca kecuali dari mushaf karena dia tidak hafal. Abu Hanifah
berpandangan shalat akan fasad/rusak karena membaca mushaf secara mutlak,
sedikit atau banyak, sebagai imam maupun shalat sendiri, sekalipun dia ummiy
yaitu tidak/belum pandai membaca sehingga ia tidak bisa membaca kecuali membaca
dari mushaf, atau bukan ummiy. Para fuqaha Hanafiyyin menyebutkan
argumen Abu Hanifah tentang penyebab rusaknya shalat karena membaca mushaf: (1)
Memegang mushaf dan melihatnya dan membuka-buka lembaran-lembarannya termasuk
perbuatan yang banyak; (2) Membaca dari mushaf itu sama saja dengan membaca
dari selainnya, sehingga dengan begitu tidak akan ada perbedaan antara orang
yang tidak memegang mushaf dengan yang memegang mushaf dalam shalat. Wajh
(pendapat) ini telah divalidasi dalam kitab Al-Kafi mengikuti validasi
As-Sarakhsi. Dengan demikian, orang yang tidak mungkin mampu membaca dalam
shalat kecuali dari mushaf, maka dia wajib shalat tanpa perlu membaca karena
hal itu sudah mencukupinya. Hal ini tidak mencakup orang yang hafizh lantaran
sama saja antara dia membaca mushaf dengan dia membaca tanpa memegang mushaf
yang mana shalatnya tidak rusak karena itu, sebab bacaannya disandarkan kepada
hafalannya bukan kepada dia membaca dari mushaf. Sementara itu, melihat mushaf
tanpa memegangnya tidaklah membatalkan shalat karena tidak termasuk dua
penyebab rusaknya shalat yang tadi telah disebutkan. Adapun dua orang yang
sangat bersahabat (murid Abu Hanifah) yaitu Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan Asy-Syaibani, keduanya berpandangan makruh membaca dari mushaf dalam
shalat jika bermaksud untuk menyerupai ahli kitab. [Hasyiyah Ibnu ‘Abidin ‘ala
Ad-Durr Al-Mukhtar 1/419]
Amalan
ini tidak termasuk tasyabbuh, termasuk kalau ada maksud dari pelakunya, karena
wazan tasyabbuh itu adalah tafa’ul, wazan ini menunjukkan adanya niat dan
orientasi melakukan suatu perbuatan dan menghadapi semua rintangannya.
Mempertimbangkan aspek niat juga menjadi dasar pengambilan hukum dalam syariat.
Ibnu
Nujaim Al-Hanafi dalam Al-Bahr Ar-Raiq (2/11), “Ketahuilah bahwa
perbuatan menyerupai ahlil kitab tidak diharamkan secara muthlaq. Kita makan
dan minum seperti mereka. Yang diharamkan adalah menyerupai tindakan yang
tercela dan dengan maksud mengikuti mereka. Oleh karena itu seandainya tidak
bertujuan untuk meniru mereka, maka menurut keduanya (Abu Yusuf dan Muhammad
bin Hasan) hal itu tidak makruh.
Yang
makruh adalah gerakan dalam shalat yang termasuk gerakan main-main dan tidak
ada gunanya. Orang yang shalat dilarang melakukan hal tersebut karena
bertentangan dengan perintah khusyu’. Membaca mushaf dalam shalat tidak
termasuk perbuatan tersebut tapi termasuk gerakan ringan dan memiliki tujuan
yang bagus. Apa dasarnya? Yaitu sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi
melepas kedua sandalnya di saat shalat ketika diwahyukan kepada beliau bahwa
pada sandal tersebut terdapat kotoran najis. Hadits tersebut diriwayatkan Imam
Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Sa’id Al-Khudri.
Muhammad
Al-Babaruti menjelaskan dalam kitab Syarh Al-Hidayah, “Menurut
Abu Hanifah bahwa memegang mushaf, melihatnya, mencermati huruf per hurufnya,
membolak-balikkan lembaran-lembarannya merupakan perbuatan yang banyak dan itu
membatalkan shalat, bagaimanapun juga. Adapun jika ingin sujud, sangat disukai
kalau dia meletakkannya pada posisi lebih tinggi dari tubuhnya, bila sulit, mau
bagaimana lagi, letakkan saja di depan, karena hal itu tidak termasuk
penghinaan.”
Ngaji juga ya di http://brillyelrasheed.blogspot.co.id
Ngaji juga ya di http://brillyelrasheed.blogspot.co.id