Mensyukuri Nikmat Karunia Hidayah
https://quantumfiqih.blogspot.com/2014/06/mensyukuri-nikmat-karunia-hidayah.html
Ketika
kita ditaqdirkan oleh Allah bisa hidup di bawah naungan hidayah-Nya, tentu itu
menjadi nikmat yang tak ternilai oleh apapun. Sebagai bentuk kesyukuran atas
nikmat hidayah tersebut dan wujud kepedulian terhadap sesama muslim, maka
menjadi hal yang aksiomatis, setiap muslim wajib berdakwah dengan jalan amar
ma’ruf maupun nahi munkar. Mengajarkan kebaikan kepada sesama muslim dan
mencegah saudara sesama muslim dari berbuat keburukan merupakan implementasi
syukur kepada Allah. (Ngaji online yuk di http://goldenmanners.blogspot.co.id)
Di balik itu, tidak sedikit orang yang ditipu syaithan, merasa bersyukur atas nikmat hidayah ternyata yang dilakukannya adalah menertawakan saudara-saudaranya sesama muslim yang masih berkubang dalam kesesatan atau bahkan menjadikan kesesatan sebagai bahan tertawaan. Merasa bernahi munkar ternyata yang dikerjakannya adalah menyulut api permusuhan saudara seislam yang masih belum mendapat hidayah dari Allah. Sikap tersebut hanya akan menciptakan kebencian dari ahludh-dhalalah dan membuat mereka semakin apatis dengan tawaran hidayah dari kita.
Kalau
memang ingin bernahi munkar dan memperingatkan umat dari kesesatan dan
mengentaskan ahludh-dhalalah dari kesesatannya, tak perlu lah menertawakan atau
menjadikan ahludh-dhalalah sebagai bahan tertawaan. Cukup jelaskan
kesesatan-kesesatannya dan ajak mereka untuk meninggalkannya dan ajarkan
hidayah dan hasung dengan sekuat-kuatnya agar mereka menapaki jalan hidayah.
عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ قُلْتُ
لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
قَالَ نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ
الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ
وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِى أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ
وَيَتَبَسَّمُ.
Dari Simak bin Harb, dia berkata,
"Aku pernah bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah kamu pernah duduk
menemani Rasulullah?” Dia menjawab, “Ya, sering. Biasanya beliau tidak berdiri
dari tempat shalat Shubuhnya sehingga matahari terbit. Apabila matahari telah
terbit, beliau berdiri dan mereka membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan
masa jahiliyyah lalu mereka tertawa, dan Rasulullah tersenyum." [Shahih
Muslim no. 1557]
Hadits ini
sama sekali tidak berisi ketetapan ma’rufnya menertawakan kesesatan. Tertawanya
para shahabat terkait kesesatan-kesesatan yang telah mereka perbuat semasa
jahiliyyah adalah merupakan luapan rasa syukur telah mendapatkan hidayah
sehingga berhasil meninggalkan jahiliyyah. Di samping itu, mereka
menyebut-nyebut kesesatan jahiliyyah yang telah mereka torehkan adalah untuk
mengokohkan paradigma kesesatan sehingga tidak ada lagi orang yang mencoba
memelintir (mentahrif) paradigma kesesatan guna melegalisasi kesesatan. (Ngaji online dong di http://brillyelrasheed.blogspot.co.id)
Artikel lengkap ada di salah satu edisi majalah (Nasional) Lentera Qolbu.