Wara Tanda Kematangan Jiwa

Nilai seseorang bergantung kematangan jiwanya. Jika jiwa yang bersemayam dalam dirinya sudah matang, tinggilah nilai dirinya. Kematangan jiwa tidak diukur dari sekedar kerapian, ketelitian, kewaspadaan dan ketenangan semata. Kematangan jiwa diukur dari kemampuan bersikap wara'. Secara sederhana, wara' adalah sikap mental yang menghambat dari tindakan maksiat. Secara kompleks, wara' adalah kemampuan memilah sikap-sikap yang harus diambil dan tidak dengan berlandaskan pada khasy-yah dan khauf kepada Allah Al-Hamid dengan harapan bisa terbebas dari potensi maksiat yang disadari atau tidak.
Tanpa wara', kita akan mudah terperangkap bujuk rayu syaithan. Tanpa wara', kita akan mudah terjerat nafsu syahwat. Tanpa wara', kita akan mudah terperosok dalam jurang maksiat. Tanpa wara', kita menjadi sangat jauh dari kedewasaan. Tanpa wara', semua aturan Allah Al-'Alim menjadi sangat terasa berat dan menyusahkan. Tanpa wara', kita menjadi sangat sulit mengambil sikap bahkan cenderung salah sikap.
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qana’ah (selalu merasa cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang mu`min yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan qalbu.” [Sunan Ibnu Majah no. 4217] Nasehat Rasulullah ini bukan hanya untuk Abu Hurairah, tapi untuk kita semua.
Wara' bersumber dari malu (haya`), bukan gengsi ('ujub) dan bukan pula minder (khajal). Pemilik wara' merasa dirinya tidak pantas merespon sesuatu secara tidak terhormat. Kehormatan bagi pemilik wara' seumpama permata. Bukan kehormatan dalam standar manusia biasa, tapi kehormatan dalam konsep Al-Qur`an dan As-Sunnah. Wara' juga berasal dari hilm, ta`anni, sabar dan taqwa.